TranslatePDF. PROSES AMANDEMEN 1945 MELALUI 4 KALI PENGESAHAN 1. Amandemen pertama disahkan 19 Oktober 1999 a) Pasal 5 Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. b) Pasal 7 Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan. – Berapa lama Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutuskan mengenai pendapat DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, semenjak permintaan tersebut diterima MK? Tugas utama Mahkamah Konstitusi MK adalah memutuskan sengketa yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar konstitusi dan menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam negara. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat 2 dalam UUD 1945, Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya karena beberapa alasan, termasuk Baca Juga Memberi Jawab atas Pertanyaan Presiden dan Memberi Saran/Pertimbangan Merupakan Wewenang dari Lembaga Apa? Pelanggaran konstitusi atau hukum - Jika presiden atau wakil presiden melanggar konstitusi atau hukum, misalnya melakukan tindakan korupsi, maka mereka dapat diberhentikan dari jabatannya. Kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan - Jika presiden atau wakil presiden mengalami masalah kesehatan yang serius atau mengalami ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan efektif, mereka dapat diberhentikan dari jabatannya. Kematian - Kematian presiden atau wakil presiden juga dapat menyebabkan mereka diberhentikan dari jabatan mereka. Pelanggaran etika - Jika presiden atau wakil presiden melanggar standar etika yang diperlukan dalam kepemimpinan, maka mereka dapat diberhentikan dari jabatannya. Kegagalan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya - Jika presiden atau wakil presiden gagal melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, misalnya tidak mampu memimpin negara dengan baik, maka mereka dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengadilan tertinggi dalam hal sengketa yang berkaitan dengan konstitusi dan undang-undang di Indonesia. Baca Juga Memeriksa dan Memutus Perkara Kasasi serta Memberikan Pertimbangan Hukum kepada Lembaga Tinggi Lain Merupakan Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat semua pihak yang terlibat dalam sengketa yang diputuskan oleh MK. Perlu diketahui bahwa waktu yang dibutuhkan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sebuah kasus dapat berbeda-beda tergantung kompleksitas kasus, jumlah bukti yang harus diperiksa, serta ketersediaan waktu para hakim konstitusi untuk menangani kasus tersebut. Oleh karena itu, estimasi waktu tersebut hanya bersifat umum dan dapat berubah tergantung pada keadaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus di MK. Namun secara umum, Mahkamah Konstitusi memiliki waktu paling lambat 90 hari setelah permintaan DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diterima. Baca Juga Sebutkan Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu Sebagai Berikut Dan jika memang Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran, maka DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna. Tujuannya adalah untuk meneruskan usul pemberhentian tersebut kepada MPR. MPR akan memutuskan paling lama 30 hari sejak usulan DPR tersebut, apakah akan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jadi berapa lama Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutuskan mengenai pendapat DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, semenjak permintaan tersebut diterima MK adalah maksimum 90 hari.***
jawabansingkat dari soal Mahkama Konstitusi (MK) wajib memeriksa pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selambat"nya 90 hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkama Konstitusi. jawaban lebih lengkap tentang tata cara Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi memiliki landasan Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah 50 UU Mahkamah Konstitusi dicabut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/ Permohonan atau permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi adalah mengenaipengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;pembubaran partai politik;perselisihan tentang hasil pemilihan umum; ataupendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, dan Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah KonstitusiLatar BelakangUndang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan yaitubahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;Dasar HukumDasar hukum Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah KonstitusiPasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879;Penjelasan Umum UU Mahkamah KonstitusiUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;memutus pembubaran partai politik;memutus perselisihan hasil pemilihan umum; danmemberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini. Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya Mahkamah UU Mahkamah KonstitusiBerikut adalah isi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bukan format asliUNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSIBAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud denganMahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenaipengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;pembubaran partai politik;perselisihan tentang hasil pemilihan umum; ataupendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun IIKEDUDUKAN DAN SUSUNANBagian PertamaKedudukanPasal 2Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan 3Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik KeduaSusunanPasal 4Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Mahkamah Kontitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 tujuh orang anggota hakim dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 tiga Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 3, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah 5Hakim konstitusi adalah pejabat 6Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam haltertangkap tangan melakukan tindak pidana; atauberdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan KetigaSekretariat Jenderal dan KepaniteraanPasal 7Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan 8Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah 9Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja IIIKEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSIBagian PertamaWewenangPasal 10Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;memutus pembubaran partai politik; danmemutus perselisihan tentang hasil pemilihan Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berupapengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 11Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan KeduaTanggung Jawab dan AkuntabilitasPasal 12Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan 13Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenaipermohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;pengelolaan keuangan dan tugas administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah 14Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah IVPENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIANHAKIM KONSTITUSIBagian PertamaPengangkatanPasal 15Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikutmemiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;adil; dannegarawan yang menguasai konstitusi dan 16Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syaratwarga negara Indonesia;berpendidikan sarjana hukum;berusia sekurang-kurangnya 40 empat puluh tahun pada saat pengangkatan;tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih;tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; danmempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 sepuluh hakim konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim 17Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadipejabat negara lainnya;anggota partai politik;pengusaha;advokat; ataupegawai 18Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 tiga orang oleh Mahkamah Agung, 3 tiga orang oleh DPR, dan 3 tiga orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak pengajuan calon diterima 19Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan 20Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1.Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara obyektif dan 21Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikutSumpah hakim konstitusi“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus- lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”Janji hakim konstitusi“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan di hadapan memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikutSumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang- undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”Bagian KeduaMasa JabatanPasal 22Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 satu kali masa jabatan KetigaPemberhentianPasal 23Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabilameninggal dunia;mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;telah berusia 67 enam puluh tujuh tahun;telah berakhir masa jabatannya; atausakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan surat keterangan konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabiladijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih;melakukan perbuatan tercela;tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;melanggar sumpah atau janji jabatan;dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atautidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Mahkamah 24Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 huruf sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling lama 60 enam puluh hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 tiga puluh hari hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya permintaan Ketua Mahkamah dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hakim konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani 25Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari konstitusi diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun tidak sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 paling lama 60 enam puluh hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 tiga puluh hari hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 3 telah berakhir dan belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim di kemudian hari putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang bersangkutan 26Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi karena berhenti atau diberhentikan, lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak terjadi Presiden tentang pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak pengajuan diterima 27Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah VHUKUM ACARABagian PertamaUmumPasal 28Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 tujuh orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat 1, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 tiga orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan KeduaPengajuan PermohonanPasal 29Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 dua belas 30Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenaipengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;pembubaran partai politik;perselisihan tentang hasil pemilihan umum; ataupendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 31Permohonan sekurang-kurangnya harus memuatnama dan alamat pemohon;uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; danhal-hal yang diminta untuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan KetigaPendaftaran Permohonan dan Penjadwalan SidangPasal 32Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat 1 huruf a dan ayat 2, wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima yang telah memenuhi kelengkapan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 33Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok 34Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama, setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan menempelkan salinan pemberitahuan tersebut di papan pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk 35Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan KeempatAlat BuktiPasal 36Alat bukti ialahsurat atau tulisan;keterangan saksi;keterangan ahli;keterangan para pihak;petunjuk; danalat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah 37Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang 38Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 tiga hari sebelum hari pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara KelimaPemeriksaan PendahuluanPasal 39Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas KeenamPemeriksaan PersidanganPasal 40Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur oleh Mahkamah terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, merupakan penghinaan terhadap Mahkamah KonstitusiPasal 41Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi 42Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan 43Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk 44Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam KetujuhPutusanPasal 45Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 dua alat Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh- sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 7 tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat 7 dan ayat 8, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam 46Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan 47Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk 48Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha putusan Mahkamah Konstitusi harus memuatkepala putusan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;identitas pihak;ringkasan permohonan;pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;amar putusan; danhari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan 49Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak putusan KedelapanPengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang DasarPasal 50Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 51Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaituperorangan warga negara Indonesia;kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;badan hukum publik atau privat; ataulembaga wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1.Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwapembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/ataumateri muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 52Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 53Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 54Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau 55Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah 56Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan 57Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak putusan 58Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 59Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah 60Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian KesembilanSengketa Kewenangan Lembaga Negara yangKewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang DasarPasal 61Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi 62Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 63Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah 64Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan 65Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah 66Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwatermohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak putusan putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pelaksanaan kewenangan termohon batal demi 67Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan KesepuluhPembubaran Partai PolitikPasal 68Pemohon adalah wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 69Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 70Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan 71Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 enam puluh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 72Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan kepada partai politik yang 73Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari sejak putusan KesebelasPerselisihan Hasil Pemilihan UmumPasal 74Pemohon adalahperorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; danpartai politik peserta pemilihan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhiterpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 tiga kali dua puluh empat jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara 75Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentangkesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; danpermintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut 76Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3 tiga hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 77Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan 78Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktupaling lambat 14 empat belas hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat 79Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum disampaikan kepada KeduabelasPendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaranoleh Presiden dan/atau Wakil PresidenPasal 80Pemohon adalah wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaanPresiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atauPresiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2.Pasal 81Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 82Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah 83Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan 84Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 sembilan puluh hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara 85Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil VIKETENTUAN LAIN-LAINPasal 86Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang VIIKETENTUAN PERALIHANPasal 87Pada saat Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang diterima Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 60 enam puluh hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi VIIIKETENTUAN PENUTUPPasal 88Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Disahkan di Jakartapada tanggal 13 Agustus 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNOPUTRIUndang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 tahun 2003tentangMahkamah Konstitusi TagsUUUndang-UndangLembaga TinggiMahkamah KonstitusiMK2003Megawati Soekarnoputri

Berdasarkanuud 1945 hubungan antara presiden dan dpr dalam rangka menjalankan hak legislasi Berikut akan kakak jawab pertanyaan yang adik ajukan, beserta pertanyaan terkait lainnya! MK wajib memeriksa, mengadili,dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR selambat lambatnya (E) 90 Hari Alasan: Dalam Pasal 7B ayat 4, berbunyi "Mahkamah Konstitusi
MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan Soal MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-seadilnya terhadap pendapat DPR selambat-lambatnya? 29 Hari 30 Hari 40 Hari 60 Hari 90 Hari Kunci jawabannya adalah E 90 Hari. sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 7B ayat 4. Silahkan baca versi lengkapnya di sini Pasal 7 dalam UUD 1945 mengatur tentang prosedur pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Lembaga yang dapat memberhentikan Presiden dan Wakilnya jika melakukan kesalahan. Baca juga Keanggotaan DPR diresmikan dengan? Apa kesalahan yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden sampai harus diberhentikan? pengkhianatan terhadap negara melakukan tindakan korupsi melakukan penyuapan tindak pidana berat atau tidak pidana lainnya yang membuat Presiden/ Wakil tidak layak lagi. Baca juga Ditjen Imigrasi berada di bawah Kementerian? Terima kasih sudah membaca Mahkamah Konstitusi atau MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-seadilnya … Semoga bermanfaat, mohon koreksi jika aku salah.
Kuncijawaban d. Eksaminatif 6. MK wajib memeriksa,mengadili dan memutus dengan seadil - seadilnya terhadap pendapat DPR selambat - lambatnya . a. 29 Hari b. 30 Hari c. 40 Hari d. 60 Hari e. 90 Hari Kunci jawaban e. 90 Hari 7. Bangsa eropa yang pertama kali mencapai kepulauan nusantara adalah . A. Spanyol B. Portugis C. Inggris D. Yunani Jakarta - Pro kontra soal bisa-tidaknya wapres dimakzulan terus bergulir. Ketua MK Mahfud MD menjelaskan bahwa UUD 1945 memberikan aturan yang memungkinkan bagi DPR memakzulkan wapres jika memang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945."Bisa saja wapres dimakzulkan kalau memang sudah dinyatakan melanggar sebagaimana dalam pasal 7 UUD. Tetapi memang tidak mudah, prosesnya panjang dan berliku," kata Mahfud kepada detikcom, Minggu 31/1/2010.Menurut Mahfud, dalam pasal 7 B UUD 1945, diatur juga mekanisme penggantian presiden dan wapres jika hal itu sampai terjadi. Jika yang diganti itu presiden dan wapres, maka partai yang mengusung 2 pasangan yang memperoleh suara terbesar dalam pilpres 2009 lalu bisa mencalonkan kader terbaiknya. "Contoh, jika seandainya presiden dan wapres sekarang diganti, maka yang bisa menggantikan ya Partai Demokrat dan koalisinya melawan PDIP dan koalisinya. Itu nanti yang akan bertarung dalam sidang MPR. Ini hanya perumpamaan dari penjelasan pasal 7 B UUD 1945," lanjut Mahfud, kalau wapres yang dimakzulkan, maka pasal 7 B mengatur presiden memilih dua nama untuk diajukan kepada MPR guna dipilih. 2 Nama yang diusulkan presiden itu terserah pilihan presiden tanpa intervensi siapa pun."2 Nama itu hak prerogatif presiden, mau milih siapa, terserah presiden. MPR diberi waktu paling lambat mempersiapkan sidang istimewa selama 60 hari. Begitu aturannya kalau yang dimakzulkan wapres," jika yang diturunkan seorang presiden, aturannya sangat jelas dan sudah ada contohnya pada kasus impeachment Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid Gus Dur. Secara otomatis wapres menggantikan posisi presiden."Kalau presiden yang dimakzulkan, ya wapres yang menggantikan. Nanti, wapres yang menjadi presiden langsung mengajukan 2 nama untuk dipilih sebegai wapresnya. Demikian aturan yang ditetapkan UUD," pungkasnya. Inilah bunyi Pasal 7 dan 8 UUD 1945 hasil amandemen yang mengatur soal pemakzulan presiden, wapres atau ke duanya. Pasal 7APresiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B1 Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.2 Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.3 Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.4 Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.5 Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.6 Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.7 Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan 7CPresiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan 81 Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.2 Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.3 Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. yid/nrl MKwajib memeriksa, mengadili,dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR selambat lambatnya (E) 90 Hari. Dalam Pasal 7B ayat 4, berbunyi "Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan

Oleh Pradikta Andi AlvatCPNS Analis Perkara Peradilan Proyeksi Calon Hakim Pengadilan Negeri Rembang Jika terjadi pelanggaran tindak pidana, pada prinsipnya perbuatan tersebut akan diadili oleh pengadilan umum. Meskipun demikian, untuk tindak pidana khusus tertentu, peradilan yang mengadilinya adalah pengadilan khusus. Pengadilan khusus sendiri merupakan pengadilan yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Misalnya, tindak pidana korupsi yang diadili oleh pengadilan khusus tindak pidana korupsi atau tindak pidana perikanan yang diadili oleh pengadilan khusus perikanan. Proses peradilan untuk mengadili tindak pidana baik di pengadilan umum maupun pengadilan khususpada dasarnya bersifat prosedural-konvensional, yakni dimulai dari tahap pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, berdasarkan konstitusi UUD NRI tahun 1945, terdapat mekanisme khusus untuk mengadili perbuatan tindak pidana yang dikenal dengan forum previlegiatum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD NRI tahun 1945. Forum previlegiatum secara prinsipil merupakan forum khusus untuk mengadili pejabat tinggi negara, dalam hal ini proses peradilannya bersifat khusus, karena tidak melalui prosedur konvensional sebagaimana umumnya. Forum previlegiatum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD NRI tahun 1945 sendiri merupakan mekanisme impeachmet untuk mengadili pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diterapkan pada pejabat tinggi lainnya, yang kemudian menjadi dasar pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Menurut Pasal 7A UUD NRI tahun 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena dua alasan. Pertama, melakukan pelanggaran hukum. Berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela. Kedua, tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari proses politik di DPR fungsi pengawasan terkait dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang mana pendapat DPR tersebut hanya bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan dukungan setidaknya 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR. Selanjutnya, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 90 hari sejak MK menerima permintaan DPR. Proses pemeriksaan di MK adalah proses yuridis. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, selajutnya DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhantian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR dari jumlah yang hadir. Jika dirunut secara sistematik, maka proses impeachmenthingga pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden terkait pelanggaran hukum pidana sebagaimana ketentuan konstitusi meliputi proses politis di DPR, proses yuridis di MK, keputusan politis di MPR. Konstruksinya menjadi politis, yuridis, politis. Maka dari itu, jika seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pembunuhan misalnya, maka proses yang dilalui adalah proses politis di DPR, proses yuridis di MK, keputusan politis di MPR, bukan melalui pengadilan tipikor atau pengadilan umum sebagaimana pada umumnya. Pelanggaran hukum tindak pidana yang menjadi dasar impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak perlu diadili lebih dulu oleh peradilan pidana melainkan langsung diadili oleh MK setelah melalui proses politis di DPR karena merupakan kasus khusus pidana ketatanegaraan Mahfud MD, Jurnal Hukun dan Peradilan 2015. Secara formil, hukum acara pemeriksaan pelanggaran hukum pidana oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Peraturan MK Nomor 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya muncul pertanyaan konseptual, apakah setelah Keputusan MPR terkait pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diputus dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya, kemudian apakah bisaeks Presiden dan/atau eks Wakil Presiden tersebut, diadili di pengadilan umum/khusus di bawah Mahkamah Agung? Secara normatif, menurut Pasal 20 Peraturan MK Nomor 21 tahun 2009 memang diperkenankan. Dalam arti, putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang kemudian menjadi dasar pemakzulan oleh MPR tidak menghapuskan hak dari pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk mengadili perkara hukumnya. Meskipun demikian, beberapa ahli menyatakan hal tersebut tidak diperkenankan karena merusak prinsip fundamental peradilan, khususnya prinsip double joepardy sebagaimana pendapat Jimly Assidiqie yang dihubungi oleh Penulis via WA. Jadi, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana yang menjadi dasar impeachment, maka akan menjadi domain bekerjanya forum previlegiatum yakni proses peradilan pidana oleh Mahkamah Konstitusi bukan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Selanjutnya, setelah forum previlegiatum pemakzulan. Barulah pengadilan di bawah Mahkamah Agung akan dapat mengadilinya, soal inipun masih debatable. Secara fungsional, forum previlegiatum dalam konteks peradilan tindak pidana terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah untuk membuktikan benar-tidaknya dugaan pelanggaran hukum pidana yang dituduhkan oleh DPR. Forum previlegiatum oleh MK, dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis pidana. * Dibaca 541

Pada1 Maret mendatang, MPR RI akan menyelenggarakan rapat paripurna yang mengagendakan pengesahan Rancangan Keputusan MPR tentang Tatib.
- Perbedaan Sidang Tahunan MPR, Sidang Paripurna MPR, dan Sidang Istimewa MPR terletak pada waktu dan tujuan pelaksanaannya. Dua jenis sidang yang pertama adalah agenda rutin MPR, sementara yang terakhir bergantung ke situasi Tahunan MPR salah satunya bertujuan mendengarkan dan membahas laporan Presiden dan lembaga negara lain terkait kinerjanya. Adapun Sidang Paripurna MPR rutin digelar pada awal dan akhir masa jabatan MPR, serta sejumlah momen tertentu lainnya. Sementara itu, Sidang Istimewa MPR adalah sidang yang diselenggarakan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat DPR dengan tujuan meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden atas dugaan pelanggaran tertentu. Namun, sekarang mekanisme sidang istimewa MPR itu tidak berlaku lagi seiring dengan adanya perubahan atau amandemen UUD merupakan lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat, meski tidak sepenuhnya. Anggota MPR adalah para wakil rakyat yang dipilih di pemilihan umum pemilu, baik sebagai anggota DPR maupun DPD. Sebelumnya, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara RI. Namun, penyebutan itu tidak lagi digunakan sekarang ini. Sebab, sesuai hasil amandemen UUD 1945, seluruh lembaga yang diatur keberadaannya dalam undang-undang dasar RI disebut sebagai lembaga dari laman resmi MPR RI, tugas dan wewenang MPR adalah sebagai berikut Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar UUD. Melantik presiden dan wakil presiden RI berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di sidang paripurna MPR. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya. Memilih wakil presiden dari 2 calon yang diajukan presiden jika terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari. Memilih presiden dan wakil presiden jika keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari 2 paket calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR. Apa Itu Sidang Tahunan MPR, Sidang Paripurna MPR, serta Sidang Istimewa MPR? Untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, MPR RI menggelar sejumlah rapat dan sidang. Jenis-jenis sidang itu diatur detailnya dalam peraturan perundang-undangan, seperti TAP MPR, undang-undang, dan Peraturan MPR. Ketentuannya secara umum juga ada di UUD ini penjelasan tentang Sidang Istimewa MPR, Sidang Paripurna MPR, dan Sidang Tahunan MPR, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat Sidang Istimewa MPRDi undang-undang dasar, tidak ada pengaturan secara detail terkait dengan sidang istimewa MPR. Hanya saja, dahulu sidang istimewa MPR digelar dengan alas keterangan dalam bagian Penjelasan UUD 1945. Mengutip Buku UUD NRI 1945 PDF, di penjelasan Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, ada keterangan mengenai sidang istimewa MPR hlm 29-30 sebagai berikut"[....] Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden."Namun, saat ini tidak ada lagi kewenangan MPR menggelar sidang istimewa yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban presiden atas pelanggaran di atas. Sebabnya, perubahan UUD 1945 amandemen UUD 1945 telah meniadakan kewenangan MPR untuk memilih Presiden RI dan Wakil Presiden itu, presiden dan wakil presiden bukan lagi mandataris MPR. Konsekuensinya, saat ini tidak lagi dikenal istilah sidang istimewa sebagai sidang MPR RI yang digelar untuk meminta dan menilai pertanggungjawaban tersebut juga didasari alasan bahwa mekanisme Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bertentangan dengan sistem presidensial. Mekanisme itu pun dinilai membuka peluang adanya ketegangan serta krisis politik dan itu, mengutip buku Panduan Pemasyarakatan UUD NRI 1945 dan TAP MPR RI 201788-93, hasil perubahan UUD 1945 mengatur secara lebih jelas terkait mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Mekanisme itu diatur dalam pasal 7B UUD 1945 hasil amandemen yang terdiri atas 7 ayat. Baca juga Fungsi dan Kewenangan MPR Menurut UUD Jenis-Jenis Lembaga Negara dan Kewenangannya Fungsi dan Kewenangan DPD Menurut UUD Pasal 7B ayat 1 UUD 1945 mengatur, presiden dan/atau wakil presiden bisa diberhentikan apabila "[...] melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela," dan/atau "tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."Berdasarkan ketentuan di pasal 7B ayat 1-7 UUD 1945, secara ringkas, mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diawali dari pendapat DPR tentang adanya pelanggaran. DPR lalu mengajukan pendapat itu kepada Mahkamah Konstitusi MK.MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat tentang dugaan DPR itu. Jika putusan MK menyatakan dugaan itu terbukti benar, DPR dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Selanjutnya, MPR wajib menggelar sidang guna memutuskan usulan DPR tersebut. Keputusan MPR atas usulan DPR itu diambil dalam rapat paripurna, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Dalam pasal 7B ayat 7 UUD 1945, yang dipertegas lagi di pasal 117 ayat 1, secara jelas disebutkan keputusan MPR atas usulan DPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden diambil dalam rapat paripurna sidang paripurna. Rapat itu tidak disebut sebagai sidang istimewa Sidang Tahunan MPRKetentuan terbaru mengenai pelaksanaan Sidang Tahunan MPR tertuang dalam Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik isi Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019, ketentuan terkait sidang tahunan MPR adalah sebagai berikut1. MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka memfasilitasi lembaga negara menyampaikan laporan kinerja Pasal 63 ayat 4.2. Untuk menjaga dan memperkokoh kedaulatan rakyat, MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka mendengarkan laporan kinerja lembaga negara kepada publik tentang pelaksanaan UUD NRI 1945 Pasal 152 ayat 1.3. Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial Pasal 152 ayat 2.4. Sidang tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setiap tanggal 14 Agustus sampai dengan tanggal 16 Agustus, yang diawali oleh penyampaian laporan kinerja MPR dan ditutup oleh laporan kinerja Presiden Pasal 152 ayat 3.6. Pidato Presiden dalam rangka laporan kinerja pada tanggal 16 Agustus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sekaligus merupakan pidato kenegaraan Presiden dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Pasal 152 ayat 4.Poin-poin di atas memperjelas definisi Sidang Tahunan MPR yang saat ini berlaku. Bisa disimpulkan Sidang Tahunan MPR adalah sidang MPR RI yang digelar setiap tahun pada tanggal 14-16 Agustus, untuk mendengarkan pemaparan laporan kinerja lembaga-lembaga negara, termasuk segi teknis acara, Sidang Tahunan MPR diawali dengan penyampaian laporan kinerja MPR dan diakhiri oleh pemaparan laporan kinerja presiden, serta diisi pula pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus dalam rangka peringatan Kemerdekaan Sidang Paripurna MPRPenyelenggaraan Sidang Paripurna MPR juga diatur di Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019. Sesuai dengan isi pasal 65, Sidang Paripurna MPR merupakan salah satu dari 8 jenis rapat MPR RI. Dari 8 jenis rapat itu, Sidang Paripurna MPR berada di urutan yang pertama. Dalam hierarki pembentukan keputusan MPR yang terdiri atas 3 level, sebagaimana diatur dalam pasal 87, Sidang Paripurna MPR juga berada di tingkat 1. Jadi, sidang paripurna merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di itu, sidang paripurna MPR bisa digelar untuk berbagai macam tujuan, seperti1. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna di awal masa jabatan pasal 63 ayat 3. Sidang paripurna ini untuk pengambilan sumpah anggota MPR hingga pemilihan pimpinan MPR dan pembentukan alat kelengkapan MPR MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna di akhir masa jabatan untuk mendengarkan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang serta kinerja Pimpinan MPR pasal 63 ayat 4.3. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk membahas usulan pengubahan Undang-undang Dasar pasal 105 ayat 2.4. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilu pasal 110 ayat 1.5. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk membahas usulan DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah didasari oleh keputusan MK pasal 114 ayat 1-2. - Sosial Budaya Kontributor Syamsul Dwi MaarifPenulis Syamsul Dwi Maarif & Addi M IdhomEditor Addi M Idhom

TentangDPR. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni: 1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2.

BerandaKlinikKenegaraanTriumvirat Pengisi K...KenegaraanTriumvirat Pengisi K...KenegaraanSenin, 16 Desember 2019Apa korelasi antara Pasal 3 ayat 3 UUD 1945 dengan Pasal 7A UUD 1945? Lalu, mengapa yang harus menggantikan Presiden dan Wakil Presiden tersebut adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan?Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, berdasarkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun sebelum hal tersebut dilakukan, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa dan memutus dugaan alasan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan. Apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, kekuasaan pemerintahan untuk sementara dipegang oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan. Mengapa harus ketiga menteri tersebut? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Pemberhentian PresidenBerkaitan dengan pertanyaan pertama Anda, Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “UUD 1945” dan Pasal 7A UUD 1945 merupakan bagian dari proses pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya secara konstitusional. Namun demikian, kedua pasal tersebut juga harus dibaca secara komprehensif dengan pasal-pasal lain di dalam dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat “MPR” atas usul Dewan Perwakilan Rakyat “DPR”, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi “MK” untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[2]Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[3]MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.[4]MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.[5]Dengan demikian, selain melibatkan MPR, proses pemberhentian Presiden juga melibatkan DPR dan Menteri Pengganti PresidenJika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.[6]Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.[7]Berkaitan dengan pertanyaan kedua Anda, untuk mengetahui mengapa triumvirat menteri tersebut Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan yang berwenang melaksanakan tugas kepresidenan apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, ada perlunya kita meninjau sejarah perumusan Pasal 8 ayat 3 UUD buku tersebut hal. 577, diuraikan bahwa Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan sejak semula telah menyetujui pengalihan kekuasaan sementara kepada ketiga menteri tersebut apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil saya langsung mengenai Pasal 8. Jadi dalam Ayat 3, jadi dalam rangka kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersama-sama. Jadi saya berpendapat, prinsipnya bahwa inikan sebenarnya kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu tentunya, yang menjalankan juga eksekutif. Karena kalau ini diserahkan kepada DPR atau DPD, yang mereka sebenarnya fungsi pengawasan, saya kira di sini akan berhenti fungsi pengawasannya, karena di sini eksekutif dengan legislatif akan jadi satu. Akan tetapi sebenarnya bahwa kaitannya dengan triumvirate ini, jadi alternatif satu, untuk menghindari kekhawatiran bahwa seolah-olah yang mewakili harus yang dipilih rakyat yaitu Ketua DPR dan Ketua DPD, kalau nanti DPD karena itu perlu bahwa setidaknya tiga menteri ini memang pada waktu pengangkatan perlu ada pertimbangan DPR. Jadi, itu untuk mengimbangi bahwa kita kembali ke triumvirate, kan hanya pertimbangan yang sama diuraikan Katin Subyantoro dari Fraksi PDI Perjuangan hal. 579 – 580 yang mengusulkan agar Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama memegang jabatan sebagai Pejabat Sementara Presiden. Katin mengatakanMengenai ketentuan berkenaan dengan, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Dalam hal ini Fraksi PDI Perjuangan berpendapat, yang melaksanakan tugas keperesidenan tetap dari lingkungan eksekutif, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara demikian, alasan di balik rumusan Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 adalah untuk menjaga agar kekuasaan pemerintahan tetap berada di lingkungan eksekutif, sekalipun terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil jawaban kami, semoga bermanfaat.[2] Pasal 7B ayat 1 UUD 1945[3] Pasal 7B ayat 2 dan 3 UUD 1945[4] Pasal 7B ayat 4 dan 5 UUD 1945[5] Pasal 7B ayat 6 dan 7 UUD 1945[6] Pasal 8 ayat 1 dan 2 UUD 1945[7] Pasal 8 ayat 3 UUD 1945Tags
HubunganBPK dengan DPR. Hubungan antar DPR dan BPK di atur di dalam : UUD 1945 pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, "Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.".
Sidang di Mahkamah Konstitusi ANTARA Bagaimana jika undang-undang melanggar hak konsitiusional anda sebagai warga negara? Maka anda dapat mengajukan permohonan uji materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar UUD ke Mahkamah Konstitusi MK. Apa yang harus anda perhatikan ketika bermaksud mengajukan uji materiil? Berikut ketentuannyaSebagaimana ditentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu1. perorangan warga negara Indonesia;2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;3. badan hukum publik atau privat; atau4. lembaga Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakuan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 yaitu1. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya;2. Dalam permohonan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa- pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD; dan/atau- materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan permohonan tersebut, MK menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Selain itu MK memberitahukan kepada Mahkamah Agung MA adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara pemeriksan, dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat diatas, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dalam hal MK berpendapat bahwa undang-undang yang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Apabila permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan permohonan dikabulkan MK menyatakan dengan tegas materi muatan dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD dan dinyatakan materi muatan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap materi muatan dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian LAW OFFICE BACA JUGA Apa itu Bank Digital dan Bagaimana Aturan MainnyaAturan Hukum Pengangkatan AnakPasal-Pasal Tentang Akses IlegalAturan Hukum Gelar, Tanda Jasa dan Tanda KehormatanPerjanjian Layanan Pinjaman OnlinePasal Pidana Penimbunan Obat Terapi Covid-19Pasal Pidana Lalai Mengemudikan Kendaraan Bermotor

Konstitusiuntuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pe langgaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 06/PMK/2005 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangannya; c bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam huruf a dan b di atas, perlu diterbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat Pasal 24C ayat 1 dan 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316; Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389. Memperhatikan Hasil Kerja Tim Penyusun Rancangan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang Pedoman Beracara Perkara Pengujian Undang-undang dan pembahasan dalam rapat-rapat pleno Mahkamah Konstitusi. M E M U T U S K A N Menetapkan PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan Pengujian adalah pengujian formil dan/ atau pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 3 huruf a dan b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hak dan/atau kewenangan konstitusional adalah hak dan/atau kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU adalah Undang-undang Republik Indonesia. Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. DPRD adalah Dewan Perwakilan Daerah Rakyat Republik Indonesia. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pleno adalah alat kelengkapan Mahkamah dengan 9 sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 tujuh orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat 1, 2, dan 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Panel Hakim adalah alat kelengkapan Mahkamah dengan beranggotaan sekurang-kurangnya 3 tiga orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. BRPK adalah Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan, berupa pendapat yang bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang dalam persidangan tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Penterjemah adalah seseorang yang karena kemahirannya, mampu menerjemahkan dari bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya. Pasal 2 Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. BAB II PEMOHON DAN MATERI PERMOHONAN Bagian Pertama Pemohon Pasal 3 Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adapt sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau; d. Lembaga negara. Bagian Kedua Permohonan Pasal 4 1 Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. 2 Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 3 Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat 2. Pasal 5 1 Permohonan diajukan acara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 dua belas rangkap yang memuat a. Identitas Pemohon, meliputi - Nama - Tempat tanggal lahir/umur - Agama - Pekerjaan - Kewarganegaraan - Alamat Lengkap - Nomor telepon/faksimili/telepon selular/ e-mail bila ada b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi - kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; - kedudukan hukum legal standing Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/ atau kewenagan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji; - alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 4, diuraikan secara jelas dan rinci. c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 2, yaitu - mengabulkan permohonan Pemohon; - menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945; - menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian meteriil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 3, yaitu - mengabulkan permohonan Pemohon; - menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945; - menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. e. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya; 2. Disamping diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1, permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat compact disk atau yang serupa dengan itu. BAB III TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN Pasal 6 1 Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. 2 Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh calon Pemohon dengan Panitera. 3 Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 sekurang-kurangnya berupa a. Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu 1. foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, 2. bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat, 3. akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohonan adalah badan hukum, 4. peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara; b. Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan; c. Daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi; d. Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melaui media elektronik, bila dipandang perlu. 4 Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon. 5 Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas. 6 Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat 7 tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan. 7 Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara. BAB IV REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG Bagian Pertama Registrasi Perkara Konstitusi Pasal 7 1 Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK dan diberi nomor perkara. 2 Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. 3 Mahkamah menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden melalui surat yang ditandatangani Panitera untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 4 Mahkamah memberitahukan kepada Mahkamah Agung melalui surat yang ditandatangani Ketua yang isinya mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan memberitahukan agar Mahkamah Agung menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji sebagaimana dimaksud Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 5 Penyampaian salinan permohonan sebagaimana dimaksud ayat 3 dan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 tersebut di atas disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian. 6 Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam BRPK dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan. Bagian Kedua Penjadwalan Pasal 8 1 Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah untuk menetapkan susunan Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera menetapkan Panitera Pengganti. 2 Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 3 Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diberitahukan kepada Pemohon dan diumumkan kepada masyarakat. 4 Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dilakukan dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan dalam situs Mahkamah Konstitusi serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Bagian Ketiga Panggilan Sidang Pasal 9 1 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 3 sebagai panggilan harus sudah diterima oleh Pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat 3 tiga hari sebelum hari persidangan. 2 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 3 dan Pasal 9 ayat 1 dilakukan dengan Surat Panggilan yang ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara langsung oleh Juru Panggil atau melalui telepon, faksimili, dan/atau surat elektronik yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian. BAB V PEMERIKSAAN Bagian Pertama Pemeriksaan Pendahuluan Pasal 10 1 Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 tiga orang hakim Konstitusi. 2 Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 tujuh orang hakim Konstitusi. Pasal 11 1 Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum legal standing Pemohon, dan pokok permohonan. 2 Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat 1 Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari. 3 Nasihat sebagaimana dimaksud ayat 2 juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. 4 Dalam hal hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau lebih diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. 5 Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya. 6 Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat 5 termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa perkara dalam hal a. memiliki kesamaan pokok permohonan; b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau; c. pertimbangan atas permintaan Pemohon; 7 Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah; Bagian Kedua Pemeriksaan Persidangan Pasal 12 1 Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. 2 Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim. Pasal 13 1 Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 12 adalah a. pemeriksaan pokok permohonan; b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis; c. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah; d. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD; e. mendengarkan keterangan saksi; f. mendengarkan keterangan ahli; g. mendengarkan keterangan Pihak Terkait; h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2 Atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c sampai dengan huruf g wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya permintaan dimaksud. 3 Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh teleconference. 4 Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, pihak-pihak diberikan kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan. Pasal 14 1 Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat 1 huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. 2 Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan. 3 Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD. 4 Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. 5 Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat 1 harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan. 6 Dalam hal permohonan Pihak Terkait tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua Mahkamah. Pasal 15 1 Apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan. 2 Pemeriksaan setempat bertujuan untuk memperoleh petunjuk sebagaimana dimaksud oleh Pasal 13 ayat 1 huruf h. 3 Segala biaya yang timbul dalam pemeriksaan setempat dibebankan kepada masing-masing pihak. Pasal 16 1 Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan; 2 Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud ayat 1 disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah dapat menyatakan menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan oleh Pemohon. 3 Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 telah diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan penyidikan dan/ atau penuntutan. Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat 1 ditetapkan dengan Ketetapan. Mahkamah yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pasal 17 1 Dalam hal Pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali, Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim atau Panel Hakim yang bersangkutan melalui Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim memberikan rekomendasi kepada Mahkamah untuk menerbitkan Ketetapan Ketua Mahkamah. 2 Ketua Mahkamah menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat dalam BRPK, yang salinannya disampaikan kepada Pemohon. Bagian ketiga Pembuktian Pasal 18 1 Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. 2 Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait. 3 Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan bukti sebaliknya tegen-bewijs. 4 Dalam hal Mahkamah menentukan perlu mendengar keterangan Presiden/Pemerintah DPR, dan DPD, keterangan ahli dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD kecuali untuk kepentingan kelancaran persidangan Mahkamah menentukan lain. Pasal 19 1 Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan untuk diperiksa di persidangan, adalah a. surat atau tulisan yang harus dapat dipertanggung-jawabkan cara perolehannya secara hukum; b. keterangan saksi di bawah sumpah mengenai fakta yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri; c. keterangan ahli di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya; d. keterangan Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, serta keterangan pihak yang terkait langsung; e. petunjuk yang diperoleh dari rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain; dan/atau f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2 Alat bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a yang berupa kutipan, salinan, atau forokopi peraturan perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau putusan pengadilan, naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi yang menerbitkannya. Pasal 20 1 Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan dimulai dengan menanyakan cara perolehannya yang dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. 2 Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan yang berupa fotokopi meliputi a. materai; b. legalisasi dan/atau pencocokan dengan surat aslinya. 3 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 belum dipenuhi, Ketua Sidang mengembalikannya kepada Pemohon untuk dipenuhi sebelum atau pada sidang berikutnya. 4 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dipenuhi, Ketua Sidang menyatakan sah dalam persidangan. Pasal 21 1 Saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah. 2 Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat saksi dan kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya untuk menerangkan apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri. 3 Lafal sumpah atau janji saksi adalah sebagai berikut “Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya” Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah” Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong saya”. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa” Untuk yang beragama Budha dimulai dengan “Namo Sakyamuni Buddhaya. Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....” diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu” Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. Pasal 22 1 Ahli dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah. 2 3 Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi conflict of interest dengan subjek dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa. Pemeriksaan ahli dimulai dengan menanyakan identitas nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat dan riwayat hidup serta keahliannya; dan ditanyakan pula kesediaannya diambil sumpah atau janji menurut agamanya untuk memberikan sesuai dengan keahliannya. 4 Lafal sumpah atau janji ahli adalah sebagai berikut “Saya bersumpah/berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahliannya saya” Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah” Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong saya”. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa” Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....” diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu” Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. 5 Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang diajukan oleh pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pasal 23 1 Pemeriksaan terhadap pihak terkait dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. 2 Pihak Terkait yang mempunyai kepentingan langsung sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 5 dapat diberikan kesempatan untuk a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; b. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan; c. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis. Pasal 24 3 Penerjemah adalah seseorang yang karena kemahirannya mampu menerjemahkan dari bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya. 4 Pemeriksaan untuk Penerjemah dimulai dengan menanyakan identitas, nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat penerjemah dan kesediaannya diambil sumpah berdasarkan agamanya untuk menerjemahkan atau yang ia dengar. 5 Lafal sumpah atau janji ahli adalah sebagai berikut “saya bersumpah/berjanji sebagai penerjemah akan menerjemahkan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya” Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah” Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong saya”. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa” Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....” diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu” Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. Pasal 25 1 Keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dan Menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait. 2 Presiden dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan. 3 Menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai kuasa Presiden/Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan persidangan dan wajib hadir sekurang-kurangnya satu kali untuk setiap perkara, dalam hal Mahkamah memerlukan dan memanggilnya. Pasal 26 1 Keterangan DPR adalah keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. 2 DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk. 3 Kuasa Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia, dan/atau anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan. Pasal 27 1 Dalam hal pengujian UU yang dalam proses pembentukannya melibatkan peranan DPD, Mahkamah harus mendengar dan/atau meminta keterangan DPD. 2 Dalam hal pengujian UU yang materi muatannya berkaitan dengan kepentingan daerah, meskipun dalam proses pembentukannya tidak melibatkan DPD, Mahkamah dapat mendengar dan/atau meminta keterangan DPD. 3 DPD dapat menjadi pihak dalam perkara permohonan pengujian undang-undang. Pasal 28 1 Atas izin dan melalui Ketua Sidang, pihak-pihak dalam persidangan dapat saling mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan mengenai pokok permasalahan yang diajukan oleh masing-masing pihak, dan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh pihak-pihak. 2 Permohonan dapat memperoleh dan menanggapi keterangan tertulis baik dari Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, maupun Pihak Terkait. BAB VI RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM Pasal 29 1 Rapat Permusyawaratan Hakim RPH dilakukan secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah. 2 Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan memimpin, Rapat Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah. 3 Dalam hal Ketua Mahkamah dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan dalam waktu bersamaan Rapat Pleno dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah. 4 Kuorum RPH untuk mengambil keputusan adalah sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi, dibantu Panitera, dan petugas lain yang disumpah. 5 RPH yang tidak untuk mengambil keputusan dapat dilakukan tanpa terikat ketentuan kuorum sebagaimana dimaksud ayat 4. Pasal 30 1 RPH mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan mengenai a. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan; b. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan; c. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan; d. pendapat hukum legal opinion para Hakim Konstitusi; e. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim Konstitusi; f. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan; g. rancangan putusan akhir; h. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir rancangan putusan; i. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno. 2 Tindak lanjut laporan panel sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c, dapat berupa a. pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum legal standing Pemohon; b. perlu-tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera diambil putusan; c. pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau panel. BAB VII PUTUSAN Pasal 31 Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi. Pasal 32 1 Dalam rangka pengambilan putusan setiap Hakim Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. 2 Putusan sedapat mungkin diambil secara musyawarah untuk mufakat. 3 Dalam hal tidak dicapai mufakat bulat, rapat ditunda sampai rapat permusyawaratan berikutnya. 4 Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. 5 Dalam hal RPH tidak dapat mengambil putusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud ayat 4, suara terakhir Ketua RPH menentukan. 6 Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali hakim yang bersangkutan tidak menghendaki. Pasal 33 Putusan Mahkamah tentang pengujian undang-undang memuat a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. identitas Pemohon; c. ringkasan permohonan yang telah diperbaiki; d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan; g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan h. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera. Pasal 34 Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruff d meliputi ringkasan a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang disampaikan di persidangan; b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD; c. keterangan Pihak Terkait; dan d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti; Pasal 35 Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan sebagaimana maksud Pasal 32 huruf e meliputi a. maksud dan tujuan permohonan; b. kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24 huruf c UUD 45, Pasal 10 ayat 1 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003; c. kedudukan hukum legal standing sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU Nomor 24 Tahun 2003; d. alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 3 huruf a dan/atau b UU Nomor 24 Tahun 2003; e. kesimpulan mengenal semua hal yang telah dipertimbangan. Pasal 36 Amar putusan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf f berbunyi a. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003; b. “Mengabulkan permohonan Pemohon”; “Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945”; “Menyatakan bahwa materi muatan ayat , pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 2, ayat 3 dan Pasal 57 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003; c. “Mengabulkan permohonan Pemohon”; “Menyatakan bahwa pembentukan UU berdasarkan UUD 1945”; “Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 4 dan Pasal 57 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2003; d. “Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”, dalam hal UU yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 5. Pasal 37 1 Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Ketua dan Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta Panitera yang mendampingi persidangan. 2 Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Wakil Ketua Mahkamah selaku Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang mendampingi persidangan. 3 Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang mendampingi persidangan. 4 Sidang pembacaan putusan dapat dijadwalkan berdasarkan kesepakatan dalam RPH. Pasal 38 UU yang diuji oleh Mahkamah tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 39 Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Pasal 40 Salinan putusan Mahkamah mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 dikirimkan kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak putusan diucapkan dan disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden/Pemerintah, dan Mahkamah Agung. Pasal 41 Putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Pasal 42 1 Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. 2 Terlepas dari ketentuan ayat 1 diatas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Pasal 43 1 Mahkamah mengeluarkan ketetapan dalam hal a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya; atau b. Pemohon menarik kembali permohonannya. 2 Amar ketetapan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a berbunyi sebagai berikut “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon”. 3 Amar ketetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana ayat 1 huruf b berbunyi sebagai berikut “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali permohonannya”; “Menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembali”; “Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam BRPK”. 4 Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pemohon dan para pihak terkait dengan materi permohonan yang berusaha berkomunikasi dengan Hakim diluar persidangan dengan maksud memengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemandirian Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dilaporkan oleh Hakim yang bersangkutan dalam RPH untuk diambil tindakan seperlunya sesuai peraturan yang berlaku atau setidak-tidaknya untuk dipergunakan sebagai bukti mengenai adanya niat yang tidak baik dari yang bersangkutan, terkait dengan penilaian Hakim atas perkara yang sedang diperiksa. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini akan diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Juni 2005-08-22 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Ketua, PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, SH .
  • v2hlnc78sa.pages.dev/210
  • v2hlnc78sa.pages.dev/15
  • v2hlnc78sa.pages.dev/291
  • v2hlnc78sa.pages.dev/582
  • v2hlnc78sa.pages.dev/317
  • v2hlnc78sa.pages.dev/389
  • v2hlnc78sa.pages.dev/284
  • v2hlnc78sa.pages.dev/199
  • v2hlnc78sa.pages.dev/163
  • v2hlnc78sa.pages.dev/675
  • v2hlnc78sa.pages.dev/790
  • v2hlnc78sa.pages.dev/556
  • v2hlnc78sa.pages.dev/523
  • v2hlnc78sa.pages.dev/711
  • v2hlnc78sa.pages.dev/254
  • mk wajib memeriksa mengadili pendapat dpr selambat lambatnya